“Sepertinya sudah lumayan lama
rasanya saya tidak menulis di blog.” Kalimat ini terlintas di kepala saya
ketika sedang membawa koper ke mobil jemputan yang udah nunggu di depan kos.
Saya mulai menulis saat saya kuliah, di sebuah kos-kosan di kota Malang. Tak
ada ide buat menulis memang, tapi perjalanan pulang dari Malang menuju
Gorontalo membuat saya ingin sedikit bercerita. Pulang memang selalu
menghadirkan bahagia.
Perjalanan ke bandara Juanda saya
tempuh dengan menggunakan mobil travel.
Karena kursi lainnya sudah dipesan jadi saya harus duduk dikursi paling
belakang, kursi horor yang membuat saya kepikiran bakal muntah jika duduk
disitu. Alhasil sepanjang perjalanan saya harus berjuang untuk sikut-sikutan
sama barang penumpang lain yang rasanya kayak orang pulang haji. Apalah daya
perjalanan terkadang memang membutuhkan pengorbanan.
Sampai bandara saya segera masuk
ke dalam bandara. Pintu masuk menuju bandara ini bagi saya cukup lucu. Satu
pintu yang dimasuki oleh semua orang. Bedanya ekspresi orang yang masuk
berbeda-beda. Ada yang senang pas masuk di bandara seperti saya, tapi tak
jarang juga wajah sedih menghiasi pintu masuk ke bandara.
Ruang tunggu bandara juga tak
kalah lucu. Sebagai mahasiswa jurusan psikologi tentunya memperhatikan orang
menjadi sangat asik bagi saya. entahlah, sebuah kegiatan iseng yang
membahagiakan.
Ada beberapa hal yang saya sadari
ketika ada di ruang tunggu bandara. Hal pertama yang saya sadari adalah bahwa
di Indonesia kadang barang bawaan jauh lebih berharga ketimbang kaki yang sabar
berdiri karena gak kebagian tempat duduk pas diruang tunggu. Kebetulan waktu
saya di bandara ada beberapa pesawat delay yang mau gak mau bikin penumpukan
penumpang di ruang tunggu, hasilnya kardus indomie bisa menatap dengan senyum
sama calon penumpang lain yang berdiri dan duduk di lantai.
Keadaan yang tidak nyaman bagi
mereka yang gak kebagian tempat duduk juga menghadirkan keanehan. Kira-kira
jarak sekitar 10 meter di sebelah kiri saya ada seorang adek perempuan yang dengan
sigap ngeluarin handphone sama tongsis, kemudian dengan begitu syahdu
ngomong-ngomong ke kamera dengan latar orang yang lagi dalam keadaan tak
nyaman. Mungkin sekarang anak muda memang banyak yang berbakat jadi reporter
atau malah banyak yang berharap terkenal dengan memanfaatkan banyaknya sosial
media yang memang memudahkan orang buat cepat terkenal. Untung saya gak separah
itu, palingan saya cuma main Bigo.
Hal lainnya yang saya temui di
saat situasi delay di ruang tunggu adalah pasangan suami istri bersama si anak
yang duduk tepat didepan saya dan punya tujuan yang sama dengan saya. Mereka
tidak aneh ketika duduk, baru pas pesawat dipanggil keanehan muncul. Semua
barang bawaan mulai dari tas yang di tenteng, ransel anak, kardus, ransel si
bapak, bahkan tas si ibu dibawa sama si bapak. Si istri? Jalan dengan santai
sambil main hp. Meme perempuan selalu benar sepertinya memang sesuai dengan
kenyataan.
Setelah lama bercerita dengan
saya ada satu poin yang saya dapat dari si bapak. Kata bapak kenapa dia bisa
sesabar itu sama si istri karena dia cinta sama istri, bukan sekedar suka.
Bedanya? Bedanya terletak kalo kita suka bunga maka kita akan memetiknya dan
membawa pulang kerumah, sebaliknya kalo cinta maka akan kita sirami setiap hari
hingga dia tumbuh dengan indah. Jawaban yang sangat bijak, akan tetapi saya
baru sadar ternyata itu ada di meme saat saya sudah berada di lokasi rumah.
Perjalanan pulang memang selalu
membahagiakan. Saya memang tidak bisa mengulas semua yang saya temui karena
memang saya bukan orang yang pandai bercerita. Jangankan buat nulis di blog
yang panjang, mau giliran maju depan kelas buat cerita pengalaman liburan di
rumah nenek pas masuk setelah libur panjang aja saya lari kok.
Tapi dari perjalanan saya di
tanggal 8 Agustus kemarin saya belajar jika perempuan memang selalu benar dan
lelaki harus berkorban demi perempuan, apalagi kalo udah menikah. Udah disebutin dadalam Quran surat Annisa ayat 34 kalo laki-laki emang pelindung bagi wanita. Selain itu
saya juga belajar kalo selalu ada cara bahagia meskipun disaat yang membuat
tidak nyaman, kayak si adek yang langsung ngeluarin tongsis di tengah padatnya
ruang tunggu. Suasana padat ruang tunggu juga mengajarkan bahwa terkadang orang
tidak peduli sama orang yang tidak dikenalinya, layaknya kardus yang dibawa
dari rumah lebih layak “diberikan” tempat duduk ketimbang orang lain yang baru
saja ketemu di bandara. Hal terakhir yang saya pelajari datang dari pintu masuk
bandara, yaitu perjalanan menjelaskan bahwa hidup juga memiliki dua terminal:
untuk mereka yang datang dan untuk mereka yang akan pergi.
Pulang memang selalu punya cerita tersendiri. Terminal, Bandara, stasiun atau apapunlah, adalah tempat yg dibenci sekaligus dinanti. Dibenci saat akan kembali ke perantauan dab dinanti ketika mau pulang.
BalasHapus